Akhir tahun 2012, ada sebuah perjalanan eksporasi budaya masa lalu. Salah satu lokasinya di Barru (bekas keharuman raja Tanete).
Kadang ketika kita berada di suatu tempat seperti itu, hal yang utama dilakukan yaitu mengambil dokumentasi gambar sambil bertanya pengaruh, strategi budaya dan sehebat apa orang-orang itu.
Beberapa hari ini memang lebih banyak membaca buku-buku tentang kejayaan masa lalu. Kita tahu, sulit mengatakan kehadiran kita sekarang jika salah satunya bukan karena mereka di masa lalu.
Tibalah referensi yang berbicara pada bagian pengingat foto saya di atas. Tersebutlah nama We Pattekke Tana.
Di masa sekarang, orang Tanete selalu merasa ada hubungan dengan orang Luwu, selain berkaitan erat dengan orang Bone. Meski kerajaan Bone pernah mengalahkan kerajaan Luwu, tetapi kerajaan Bone tetap menganggap bahwa Luwu adalah tetua di antara banyak kerajaan.
Setelah perang Makassar, Pajung ri Luwu berencana meminang putri kerajaan Tanete karena cikal bakal lahirnya kerajaan Tanete adalah penyatuan kerajaan Agangnionjo dengan kerajaan Tanete kecil di Selayar yang mengantarkan mayat putra raja Luwu yang tenggelam kembali ke Luwu.
Singkat cerita, Arung Palakka yang dekat dengan Tanete memberikan satu syarat kepada Luwu bahwa putra atau putri yang lahir nantinya harus menjadi raja atau Datu Luwu. Dan lahirnya seorang putri setelah prosesi panjang itu.
Siapa We Pattekke Tana?
Tersebut nama La Mappajanci (Tanete) memperisteri We Tenri Abeng Marioriwawo (Soppeng), We tenri Abeng adalah saudara kandung Arung Palakka. Lahirlah We Pattekke Tana yang dikatakan ratu tiga mahkota.
Mengapa?
Karena We Pattekke Tana adalah Datu Tanete menggantikan bapaknya, dia juga Datu Mario menggantikan ibunya (Soppeng), eh ternyata dia juga Arung Pattiro Bone karena Arung Palakka menyerahkan warisan mahkotanya di sana.
Dari sini, ada yang menarik. Anak keturunan Pattekke Tana menjadi Pajung ri Luwu. Serta generasi-generasinya dari La Ma'dusila membangun Kuala Lumpur tahun 1820.