Dari sini saya tak akan membahas seni terlalu banyak.
Sedekah Akbar seri ke 6 menjembatani ummat muslim khususnya di Pontianak yang ingin bertemu, berdo'a dan dido'akan oleh 3000 Anak Yatim & Penghafal Qur'an sekaligus memberikan hadiah kepada mereka. --www.sedekahakbar.com
Tahukah engkau, sahabatku! Ada banyak keajaiban di sini. Nikmatnya berkumpul bersama 3000 Anak Yatim dan Penghafal Al-Qur'an. Menangis bersama, bersungguh-sungguh berdo'a. Kemudian setelah acara, berpelukan dengan saudara-saudara muslim yang engkau baru kenal atau hanya kenal di dunia maya. Tidak ada kalimat yang menggambarkannya selain apa yang tertulis dalam qalam Ar-Rahman: Maka Nikmat Tuhanmu yang mana yang engkau dustakan?
Jika cerita saya tidak membuka hatimu,
maka mintalah hati kepada Allah.
Jika cerita saya tidak membuatmu menangis,
maka mintalah air mata kepada Allah dan bacalah sekali lagi.
Mengapa saya harus menulis ini?
Meminjam kalimat Ustadz Anis Matta:
"Saya merasakannya, orang lain membutuhkannya."
Cerita saya dimulai dari sini. Saat Ustadz Luqmanulhakim (penggagas Sedekah Akbar Indonesia) berkunjung ke Barru membawa Ta'lim Akbar bersama Ustadz Salim A. Fillah di bulan Oktober kemarin. Seperti kata orang, perkataan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran bagi pendengarnya. Ustadz Luqman terus mengulang kata 'sedekah akbar' sampai bosan dan ingin berada di tengah-tengah mereka langsung. Tak lama, kegiatan tersebut diadakan di Sentul, Bogor didorong oleh Kang Rendy, Kang Dewa, dkk. dengan nama Majelis Do'a Saudagar Nusantara. Alhamdulillah, hadir pula guru kami, Ustadz Yusuf Mansur.
Hari itu, salah seorang dari Kurir Langit hadir di acara berberkah tersebut. Sepulangnya, beliau berbagi pengalaman. Menceritakan keberkahan dari banyak sisi. Menceritakan pengalaman menginap di Masjid Az-Zikra milik Ustadz Arifin Ilham, menceritakan pengalaman coaching bisnis dari para senior pebisnis muslim.
Dan, Akhirnya tiba di pertanyaan: Ustadz Luqman sudah dua kali berkunjung ke Barru, kita balas dengan apa?
Dengan mantap dalam lingkaran kecil menjelang magrib itu, saat listrik mati, saat nyamuk berkumpul di atas kepala, semua berkata: kita ke Pontianak, ikut Sedekah Akbar.
Tak disangka, akan cukup sulit.
Alasan klasik itu muncul: Biaya belum cukup.
Hari berjalan. Ada yang mempercepat ke gigi empat dengan menjual dagangan di saat waktu isterahat yang seharusnya. Ada yang do'anya panjang-panjang. Ada yang diam-diam sudah mengumpulkan.
Saya?
Belum berpikir untuk mengumpulkan uang.
Namun setiap ditanya dan ada yang berbicara sedekah akbar, hanya menjawab: sampai jumpa di Pontianak. Dalam hati, Ya Allah mau berangkat pakai apa saya ini. Uangnya ada tapi akan dipakai untuk ujian hasil tesis (yang sebenarnya belum ada jadwal ujiannya).
Satu persatu. Nama yang akan berangkat tertulis. Saya ikut mantap menulis nama. Belum ada biaya terkumpul. Modal saat itu cuma dua: selalu berpikir positif dan mengulang kalimat "sampai jumpa di Pontianak". Cerita ini hampir mirip saat saya ikut Wisuda Akbar 4 bersama puluhan ribu penghafal Al-Qur'an di Gelora Bung Karno, Jakarta tahun 2013 lalu.
Hari keberangkatan semakin dekat. Nama yang tertulis mulai berkurang. Ada yang tidak bisa karena alasan klasik tadi. Ada yang tidak bisa karena waktu pekerjaan. Ada yang tidak bisa karena sulitnya meminta izin. Ada yang tidak bisa karena memang belum dikumpulkan niatnya.
Singkat cerita, saya ikut berangkat. --Peristiwa rezeki saya dapat dari mana cukup unik, tapi tidak akan saya ceritakan di sini--
Saya berdo'a, mudah-mudahan keberangkatan ini berberkah. Berberkah untuk semuanya.
Pada hakikatnya, iman itu naik-turun, perlu berkumpul dengan orang-orang baik untuk tetap menjaganya. Kita memang bukan khadijah yang setiap hari imannya naik, namun cara menjaga salah satunya dengan berkumpul (berjama'ah).
Mulai dari sini saya akan menyertakan foto-foto.
Mohon maaf sahabat.
Atas restu, diperjalankan oleh Allah. Berangkatlah!
Kurir Langit bersama Pak dr. Hisbullah dan tim Pesantren Alam Indonesia + Ustadz Ahmad Sudirman (yang menguasai beberapa bahasa sekaligus ta'mir di Masjid Al-Markaz Makassar)
Dijamu sebagai tamu terbanyak satu dari banyak rombongan yang hadir dari berbagai kota di Indonesia. Mulai hari itu, kendaraan ini akan menjadi teman dalam perjalanan.
Pemilik mobil ini namanya Pak Nurhasan, salah satu dewan Pembina Yayasan Munzalan Ashabul Yamin. Seorang keturunan bugis yang lama menetap di Pontianak. Supir yang mengantar kami, namanya Pak Wahyu, sebentar saya ceritakan sedikit kisah hidupnya.
Berkunjunglah ke Yayasan Munzalan dan masjid kapal. Mulai dari sini saya banyak melihat, mengurangi cerita.
Model masjidnya menyerupai kapal karena Pak Nurhasan mengambil spirit orang-orang bugis menggunakan kapal merantau dan membangun peradaban.
Awal Munzalan terbentuk dari Gerakan Infaq Beras dengan penyaluran 12-17 ton setiap bulan ke para anak yatim, penghafal Al-Qur'an dan orang-orang yang berjuang di jalan Allah
Di Munzalan, ustadz Luqman bercerita banyak tentang orang-orang di sana. Mulai cerita seputar jalan dakwah, mayoritas non muslim, pemimpin non muslim serta cara bertahan dan berkembang.
Disambut Ust. Luqman walaupun beliau sibuk mempersiapkan hari esok.
Ada satu tempat makanan yang selalu saya suka, sebenarnya banyak di sekitar kita. Namun sedikit berbeda di sini. Nama tempatnya "Raja Uduk". Mengapa saya suka, kemungkinan besar keberkahan tempat itu. Mulai cara mengolah makanan dengan konsep hulu-hilir-halal, maksudnya pengolahan mulai dari penyajian bermodal do'a, karyawan berhijab, kuas makanan tidak berasal dari bulu babi hutan (cek kuas makanan atau kuas wajah Anda).
Masjidnya juga besar-besar.
Magrib hampir tiba. Lebih cepat dari dugaan, 17.40 WIB adzan menggema dari corong-corong ketinggian. Diperjalankan kembali ke Masjid Raya Mujahidin. Masjid terbesar di kota ini.
Masjid-masjid megah banyak, ini spirit semoga ke depannya seluruh basis keilmuan, dasar gerakan, pengembangan ekonomi berasal dari masjid.
Bergeser ke Muzalan. Ketemu Paskas (Pasukan Amal Shaleh) Se-Indonesia. Ada beberapa alumni kegiatan Mustahil Miskinnya Ustadz Luqman. Dijamu makanan senampan berempat. Syaratnya: makannya tidak boleh sedaerah kecuali Barru karena kebanyakan pasukan.
Hari itu, 10 Desember 2017. Tersebut nama kegiatan Sedekah Akbar Indonesia. Puncak acara. 3000 Anak Yatim dan Penghafal Al-Qur'an.
Hari yang menjadi saksi banyaknya air mata jatuh ke bumi dan do'a terbang ke langit. Hari yang ditunggu berkumpulnya sahabat-sahabat dari berbagai nusantara.
Tumpahlah air mata. Di saat melihat video santri-santri mengeringkan ikan yang ada ulatnya. Padahal mereka penghafal Al-Qur'an, makanan untuk keluarga yang dekat dengan Allah seperti itu. Tersayat hati ini rasanya. Hingga Ustadz Luqman berkata pimpinan pondok tersebut dihadiahi umroh, ustadz pimpinan pondok tersebut sujud syukur di atas panggung. menangis sejadi-jadinya. Entah doa dari mana yang mengirimkan hadiah itu.
Pada kesempatan lain, tunanetra yang menghafal Al-Qur'an juga diberi hadiah umroh.
Sahabat sekalian, ingin kuceritakan kisah yang lain. Yang dari awal saya janji akan ceritakan.
Namanya Pak Wahyu. Selama di Pontianak beliau ditugaskan untuk mengantar kami kemanapun kami minta. Orangnya yang di tengah.
Ingin kuceritakan kisahnya.
Beliau awalnya seorang non muslim, lahir di Pontianak, besar di Jogja dan kembali ke Pontianak saat orang tuanya ditugaskan lagi di Pontianak sebagai pendidik dari kalangan kristiani. Sudah Menikah dan dikaruniai anak.
Merasa uangnya telah cukup, kembalilah beliau ke Pontianak.
Didapatinya istrinya memiliki banyak hutang. Selama merantau, istrinya suka hutang di mana-mana. Beliau sering menasehati untuk tidak menghutang lagi dengan orang lain.
Akhirnya, rezeki yang dikumpulkannya dari Bali habis hanya untuk membayar hutang istrinya.
Sebelum berangkat merantau lagi, dinasehati istrinya agar tidak berhutang. Dititp istri dan anaknya ke mertuanya. Berangkatlah beliau mencari nafkah untuk keluarga.
Dalam kurun waktu beberapa bulan, komunikasi dengan istrinya menggunakan telfon masih lancar. Hingga tiba suatu masa, tak lagi telfonnya berbunyi, tak ada lagi sambungan yang seharusnya diterimanya. Tak ada lagi suara anak yang dirindukannya.
Bergegaslah beliau pulang ke Pontianak.
Rumah didapatinya kosong. Telfon mertua tidak tersambung. Bertanyalah Pak Wahyu kemana perginya istri dan anaknya ke tetangga-tetangga.
Tersebutlah istrinya menghutang lagi. dicari-cari oleh penagih. Hingga diketahui, rumahnya telah dijual. Habislah harapannya.
Kabar tersiar. Istrinya ke luar negeri. anaknya dititip ke mertuanya. Sedang komunikasi putus tak ada jalan. Setiap ditanya kabar keluarga, Pak Wahyu menitikkan air mata.
Hiduplah sekarang di kos-kosan. Memutuskan memeluk Islam.
Saya tidak tahu detil mengapa beliau memeluk Islam.
Kabar terakhir, beliau muallaf barulah empat bulan. Belajar Islam sedikit-sedikit. Bekerja di bengkel Pak Hamka, yang juga seorang muallaf tapi sudah lama.
Setiap kami kajian subuh bersama di Masjid Kapal Munzalan, jika disebutkan ayat-ayat tentang keluarga, matanya berkaca-kaca. Membuncah kerinduannya dengan anaknya.
Saat kami kembali ke Makassar.
Beliau mengirim pesan dan berterima kasih kepada kami telah menemani beliau.
Pak Wahyu. Kami yang seharusnya berterima kasih.
Pak Wahyu yang telah menemani kami. Sudi mengantar kami keliling-keliling. Tanpa mengeluh.
Pak Wahyu teguh dengan keyakinannya kini.
Terima kasih pelajaran hidupnya.
Pak Wahyu.
Terima kasih telah mengajak kami membelah bumi menjadi dua.
Terima kasih telah mengajak kami menyusuri sungai terpanjang di republik ini, Sungai Kapuas.
Terima kasih telah mengenalkan kami ke Makam Kesultanan Pontianak.
Semoga panjang masa untuk berjumpa nantinya.
sekali lagi Terima Kasih.
--Di bawah gerimis Makassar, 18.12.2017. Pukul 23.58 Wita.