Seni Sudah Berakhir
"Seni sudah berakhir!" Kata Arthur Danto, dkk.
Segerombolan pemikir seperti Danto menikmati peralihan seni. Mereka berpikir, seni bukan lagi hal pokok, penting dan tak mengapa jika disebut berlebihan.
Pandangan tersebut kian hari menguasai wacana pemikiran manusia. Terutama setelah saya menulis kalimat petikan pembuka di atas.
Mengapa demikian?
Sebab umumnya seni dianggap sebagai hiburan dan hiasan. Untuk menghibur, seni memosisikan diri untuk membuat hati senang. Untuk menghias, seni dipandang dari sudut 'kemenawanan'. --saya jg tidak tahu apakah kata ini ada di kamus--
Lanjut Danto, dalam kehidupan, seni kian hari dikelola pasar. Seni sekadar desain saja, siasat komunikasi pemasaran, atau lebih gawat lagi: strategi pembiusan untuk meraih berbagai keuntungan.
Sementara di lain kesempatan, yang dianggap seni pun (seni kontemporer misalnya) memang tak lagi jelas bedanya mana yang benar-benar disebut 'seni', mana yang sekadar perilaku kekanak-kanakan oleh orang-orang frustasi identitas dan sakit jika: dengan mencari perhatian dari perilaku ganjilnya.
Tapi cerita di atas tak sepenuhnya benar, kata Bambang Sugiharto dalam bukunya: Untuk Apa Seni?
Sebagai kesimpulan sementara, untuk memahami posisi seni dalam peradaban manusia, perlu dilihat cara manusia memaknai kehidupan, pengalaman dan dunianya.
Kita menyadari diri kita melalui interaksi dgn dunia sekeliling kita. Terbatasnya pengetahuan, jadinya menerka ketidakjelasan.