Anak itu Bernama Muhammad Al-Fatih (Muhammad Al-Fatih Bagian Ketiga) - Seni dan Desain: Kajian dan Pengetahuan

Anak itu Bernama Muhammad Al-Fatih (Muhammad Al-Fatih Bagian Ketiga)

Share:





Sejak kecil Al-Fatih telah dipilihkan ulama terbaik. Seperti kakek-kakeknya dulu. Singkatnya dari keturunan Al-Fatih bisa dibaca klik di sini

Sebelum saya masuk materi singkatnya, saya bahas sedikit masalah pendidikan. Memang benar pendidikan terbaik bukan masalah kurikulum dan gedung tapi masalah orang. Ini saya sangat sepakat, telah kita lalui banyak program dan fasilitas tapi peningkatan kualitas pendidikan begitu-begitu saja. Itu karena orangnya juga itu-itu saja. Kita hanya ganti baju, apa yang dipikirkan kemarin dan minggu lalu itu juga yang dipikirkan besok, lusa dan seterusnya setelah ganti baju. Tidak berubah-berubah.

Pendidikan bukan cuma transfer of knowlegde tapi juga transfer of character, maka konsep pendidikan Islam hadir dengan menawarkan hal yang paling penting tentang karakter. Kalau soal transfer of knowledge maka google lebih banyak tahu daripada guru dan dosen kawan-kawan sekalian.

Ok. Kembali ke cerita Muhammad Al-Fatih. Gagasan di atas boleh kawan terima boleh tidak.

Maka dipilihkanlah guru yang terbaik untuk Muhammad al-Fatih waktu itu namanya Syeikh Ahmad Al-Kurani. seperti namanya Syeikh Ahmad mengajarkan Al-Qur'an.  Muhammad al-Fatih terkenal bandel saat diajar oleh Syeikh Ahmad. Berlari kesana-kemari. Tidak memperhatikan pelajaran. Pandangannya lebih tertarik ke ruangan luar. Dengan sangat sopan, Syeikh Ahmad memohon kepada Sultan Murad (bapaknya Al-Fatih) untuk mendidik al-Fatih dengan caranya. Sultan Murad menyetujui. apapun demi kebaikan anaknya.

Dipanggillah Al-Fatih kecil oleh Syeikh Ahmad, "sini kamu nak," kata syeikh Ahmad.

Al-Fatih yang senang berlarian kesana-kemari tadi datang dengan semangat. Syeikh Ahmad kemudian langsung menggampar Al-Fatih dengan kayu. Mulai saat itu Al-Fatih tidak main-main lagi dalam belajar. Alhasil, usia 8 tahun Al-Fatih hafal Al-Qur'an.

Selesai belajar Al-Qur'an. Ketemu guru lain lagi namanya Syeikh Aaq Syamsuddin. Beliau mengajarkan sejarah-sejarah rosulullah. kisah-kisah para sahabat. Istri-istri rosulullah. Sehingga muncul kecintaan kepada rosulullah waktu itu. Terbentuklah mentalnya menjadi mental ksatria.

Setelah diceritakan kisah-kisah rosulullah. Syeikh Aaq Syamsuddin sering membawa Al-Fatih memandang Hagia sophia dari kejauhan.



"Nak kamu lihat itu," Kata syeikh Aaq.

"Iya," kata Al-Fatih.

"Apa itu?" Kata Syeikh Ahmad.

"Tempat yang akan kita taklukkan nanti syeikh," jawab al-Fatih.

"Kalau begitu saya mau cerita. Kakek-kakekmu sudah kesana. semuanya gagal. Bapakmu pernah kesana, bapakmu gagal. Kamu keturunan ke tujuh dan dalam setiap sujud saya selalu minta kepada Allah untuk menjadikanmu pemimpin yang akan mengambil alih tempat itu," kata syeikh Ahmad.

Mental Al-Fatih semakin terbentuk. Dia yakin, dialah orang yang akan mengambil alih Konstantinopel. Dia yakin betul karena gurunya meyakinkan pada dia. Karena modal yakin itu, umur 16 tahun telah menguasai 8 bahasa. Sejak akil baligh tidak meninggalkan sholat rawatib dan sholat tahajjud. Beda jauhlah dengan kita semua ya.

Al-Fatih sadar, untuk menjadi pemimpin terbaik tidak cukup dengan amalan-amalan biasa. Tidak cukup menjadi manusia standar seperti pada umumnya karena pemimpin terbaik itu dijanjikan sebagai sebaik-baik pemimpin.

Selain ibadah. Al-Fatih yang dewasa mulai mengumpulkan 7.000 pasukan-pasukan hebat. Pasukan itu disebut Inkisaria atau dalam game-game online seputar Ottoman disebut Janissary atau Janissaries. Pasukan itu dikumpulkan di setiap barak (tempat kumpul pasukan), disetiap barak itu dibentuk mental pasukan-pasukan tersebut. Sehingga mereka punya cita-cita "kami adalah ghazi" --panggilan hebat waktu itu.





Pada akhirnya setengah dari pasukan ini tidak pernah meninggalkan sholat tahajjud di malam hari. Kira-kira begitulah Muhammad Al-Fatih belajar, membangun pasukan dan menguatkan mentalnya.

Insya Allah saya lanjut mengenai Benteng Al-Fatih.