Dulu di kalangan ahli seni rupa ada semacam pandangan bahwa lukisan yg baik itu ialah lukisan yg realis atau naturalis. Di Asia, pada masa kejayaannya, tidak demikian. Seperti pernah kami kemukakan seni lukis Asia, khususnya Persia, cenderung menolak realisme dan naturalisme Eropa. Banyak seni dekoratif muncul. Dalam seni Islam misalnya, banyak seniman yg dipengaruhi oleh wawasan estetika Al-Farabi dan Ibn Sina.
Menurut Ibn Sina masalah estetis seniman dalam berkarya ialah bagaimana mentransformasikan iltizat (pengalaman estetis) ke dalam obyek visual, dengan dikemas dengan cara stilisasi (tahsin) dan deformasi (taqbih). Hasilnya disebut mutabaqah yaitu keseimbangan antara ide atau rasa dengan ungkapan formal karya seni.
Menurut dua filosof itu, karya seni bersifat imaginatif mutakhayyil). Untuk mencapai tujuannya seniman tak perlu meniru total bentuk obyek-obyek. Seni yang baik tidak dimaksudkan untuk mengungkapkan kenyataan, tetapi bagaimana seniman dengan imaginasi mengungkapkan aspek-aspek dari penikmatan yg menyentuh atau memberikan kenikmatan estetis. Kata mutakhayyil (imaginatif) dan takhyil (imaginasi) berasal dari akkar kata khayal atau kha ya la, yg artinya membuat percaya.
Al-Farabi mengartikan karya seni sebagai mutakhayyil, yaitu obyek pengetahuan/penikmatan yg dapat ditangkap secara langsung oleh jiwa tanpa berpikir lama. Kata takhyil atau imaginasi diartikan sbg proses kejiwaan yang menyebabkan suatu karya seni menjadi imaginatif, sugestif dan evokatif. Kata mimesis sudah terkandung dalam kata imaginasi.